Jalan-Jalan Di Kawasan Malioboro Yogyakarta, Ada Apa Saja?
Apa yang terlintas di pikiran Anda saat mendengar kata Yogyakarta? Malioboro tentu menjadi salah satu lokasi ataupun kata yang sangat lekat dengan kota Yogyakarta ini. Kawasan Malioboro menjadi salah satu jantung kota Yogyakarta yang selalu dirindukan.
Ada beberapa pendapat mengenai penamaan Malioboro ini, namun yang paling diyakini nama Malioboro sendiri berasal dari Bahasa Sansekerta Malyabhara yang artinya adalah karangan bunga, sedangkan beberapa ahli berpendapat nama Malioboro sendiri berasal dari dari nama seorang Kolonial Inggris yang pernah mendami Jogja pada tahun 1811-1816 bernama Malborough.
Kawasan Malioboro tak pernah sepi pengunjung. Sebagai salah satu jalan di kota Jogja, Kawasan ini seakan memiliki daya tarik dengan suasana klasik khas kota Jogja. Kawasan Malioboro terus dikembangkan demi kenyamanan pengunjung. Banyak sudut yang menarik untuk berfoto.
Semakin malam bukannya semakin sepi, namun akan banyak Musisi jalanan dengan bakat luar biasa yang siap menghibur pengunjung dengan seni musik modern maupun tradisional. Jalanan Malioboro juga semakin ramai dengan adanya delman yang menjadi ciri khas Malioboro. Kusir akan mengendalikan kuda untuk mengantar Anda ke tempat tujuan dengan delman ini.
Jalan-jalan tanpa oleh-oleh? Jangan ya. Mengunjungi Maliororo kurang lengkap jika tidak membeli oleh-oleh. Di Kawasan ini Anda bisa membeli oleh-oleh untuk orang tersayang mulai dari baju, kerajinan tangan, makanan, dan lainnnya.
Lelah berwisata dan berbelanja? Saatnya mengisi tenaga dengan mencicipi hidangan khas kota Jogja yang juga dapat dengan mudah ditemukan di Kawasan Maliboro Jogja ini. Banyak sekali warung makan lesehan yang siap menyambut wisatawan dengan sajian khas kota Jogja, seperti wedang ronde, gudeng, angkringan, dan lainnya.
Berwisata Di Sekitar Kawasan Malioboro
Mengunjungi Kawasan Malioboro tak lengkap jika hanya berada di Malioboro saja, karena banyak sekali destinasi wisata di sekitarnya yang wajib untuk dikunjungi. Apa saja?
Tugu Pal Putih
Yogyakarta juga identik dengan tugu nya. Bahkan gambar tuu ini dapat ditemukan dengan mudah pada kaos maupun kemasan makanan khas Jogja. Tugu Jogja sendiri berdiri kokoh di Tengah Tengah perempatan Jalan Diponegoro, Jalan A.M Sangaji, Jalan Jend Sudirman, dan Jalan Mangkubumi.
Tugu Pal Putih didirikan oleh Kraton Surakarta di tahun 1757 saat Hamengku Buwana I memerintah. Awalnya tugu ini dibangun dengan tinggi 25 meter yang dibangi menjadi dua bagian. Bagian bawah berbentuk silinder yang disebut Gilig lalu di bagian kedua adalah puncak yang disebut dengan Golong. Inilah yang membuat Tuigu ini juga dikenal dengan sebutan Golong Gilig.
Tepat di bulan Juni 1867, gempa melanda Yogyakarta hingga membuat Tugu ini patah menjadi 3 bagian dan sempat terbengkalai beberapa tahun. Saat Hamengku Buwono VII memerintah, muncullah desakan untuk membangun Kembali Tugu ini.
Pembangunan Tugu akhirnya dilaksanakan dengan melibatkan pemerintahan Belanda dimana JWD Van Brussels menjabat sebagai kepala Dinas Pekerjaan Umum dengan diawasi oleh Pihak Kraton Yogyakarta yang diwakili oleh Patih Danureja V. 3 Oktober 1889 Tugu ini kemudian diremikan dengan nama De Witte Paal (Tugu Putih).
Terlibatnya pihak Belanda saat proses pembangunan ternyata membuat Tugu Pal Putih ini memiliki bentuk yang cukup berbeda dengan aslinya. Bentuk yang tadinya silinder diganti dengan bentuk segiempat yang meruncing.
Jika diamati, bangunan Tugu ini dibagi menjadi tiga bagian. Bagian bawah dibuat dengan pondadi berupa 4 anak tangga yang memperkokoh bangunan, lalu menuju bagian tengan ada bagian berbentuk segiempat yang meruncing ke atas, diakhiri dengan bentuk mahkota berupa uliran meruncing.
Pecinan Ketandan
Berada di Pusat Kota Yogyakarta, Kampung Ketandan sendiri meliputi beberapa Kawasan, seperti Jalan Suryotoo, Jalan Suryatmajan, hingga Jalan Los Pasar Beringharjo. Adanya bangunan gerbang berukiran naga setinggi 7 meter membuat Kawasan ini sangat mudah ditemukan dan dikenali.
Walaupun Kawasan Ketandan bukanlah satu-satunya Kawasan Pecinan, namun Kawasan ini selalu menjadi pusat perayaan hari besar, terutama Masyarakat Tionghoa seperti Tahun Baru Imlek. Wajar memang, karena Kawasan ini memiliki kaitan Sejarah yang erat dengan Keraton Yogyakarta.
Pada masa Hamengku Buwono III, Kawasan Ketandan ini adalah tempat tinggal bagi para pegawai yang memiliki tugas untuk menarik pajak dari Etnis Tionghoa. Pegawai yang disebut Tondo ini nantinya akan menyerahkan pajak yang terkumpul kepada Keraton.
Pada masa itu, pemerintah Belanda menerapkan pembatasan pergerakan bagi warga Tonghoa, namun karena adanya kedekatan hubungan antara pihak Keraton dan Etnis Tionghoa, maka akhirnya Sri Sultan Hamengkubuwono tetap memberikan iji warga Tionghoa untuk tetap menempati Kawasan Utara Beringharjo ini dengan harapan warga Tionghoa juga dapat memperkuat aktivitas perekonomian masyarakat. Seiring berkembangnya jaman, maka Kawasan ini menjadi area perdagangan bahan pokok dan jamu hingga saat ini mulai menjadi Kawasan penjualan toko perhiasan dan emas.
Taman Sari
Taman Sari dibuat pada masa pemerintahan Pangeran Mangkubumi yang saat itu bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono I untuk menghargai jasa istri para sultan yang telah membantu selama peperangan.
Dalam bukunya, Djoko Soekiman menyebutkan bahwa Taman Sari adalah Kawasan Taman Air yang berada di dalam benteng. Tak heran jika Kawasan ini memiliki beberapa area, seperti kolam-kolam, tempat berganti pakaian, ruangan menari, dan taman-taman.
Selain berguna sebagai Kawasan pemandian, Kawasan Tamansari juga berguna sebagai nbenteng pertahanan. Hal ini dibutktikan dengan banyaknya Lorong bawah tanah serta dapur. Sayangnya, kebun buah dan bunga yang berada di sekitar Taman Sari telah berubah fingsi menjadi perkampungan penduduk.
Walaupun begitu, Jalan Jalan Ke Tamansari akan memberikan kenangan tak terlupakan karena wisatawan masih bisa menikmati sisa bangunan yang ada seperti Gerbang Kenari, Gapura Panggung, Kolam Umbul WInangun, Gedong Sekawan, dan bangunan indah lainnya.
Teras Malioboro
Taman Sari dibuat pada masa pemerintahan Pangeran Mangkubumi yang saat itu bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono I untuk menghargai jasa istri para sultan yang telah membantu selama peperangan.
Dalam bukunya, Djoko Soekiman menyebutkan bahwa Taman Sari adalah Kawasan Taman Air yang berada di dalam benteng. Tak heran jika Kawasan ini memiliki beberapa area, seperti kolam-kolam, tempat berganti pakaian, ruangan menari, dan taman-taman.
Selain berguna sebagai Kawasan pemandian, Kawasan Tamansari juga berguna sebagai nbenteng pertahanan. Hal ini dibutktikan dengan banyaknya Lorong bawah tanah serta dapur. Sayangnya, kebun buah dan bunga yang berada di sekitar Taman Sari telah berubah fingsi menjadi perkampungan penduduk.
Walaupun begitu, Jalan Jalan Ke Tamansari akan memberikan kenangan tak terlupakan karena wisatawan masih bisa menikmati sisa bangunan yang ada seperti Gerbang Kenari, Gapura Panggung, Kolam Umbul WInangun, Gedong Sekawan, dan bangunan indah lainnya.